Reformasi Penegakan Hukum Di Indonesia

(Alfin Mubin Reniwurwarin, S.H.)


 

SRIWIJAYAINSTITUTE.OR.ID | Media•Opini - Dewasa ini wajah hukum di indonesia dihadapkan  pada  persoalan yang  sangat  kompleks. Praktik  penyelewengan  dalam  proses  penegakan hukum,  seperti: mafia  hukum  dan  peradilan,  peradilan  yang  diskriminatif atau  rekayasa  proses  peradilan  merupakan  realitas  yang  gampang  ditemui dalam   penegakan   hukum.   Peradilan   yang   diskriminatif menjadikan  hukum  di  negeri  ini  persis  seperti  yang  dideskripsikan  Plato bahwa  hukum  adalah  jaring  laba-laba  yang  hanya  mampu  menjerat  yang lemah tetapi  akan robek  jika menjerat  yang kaya  dan kuat  (laws are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are  torn  in  pieces  by  the  rich  and  powerful).  

Buramnya wajah  hukum merupakan   anak   kandung   penegakan   hukum   (law   enforcement)   yang stagnan.  Kalaupun  hukum  telah  dicoba  ditegakkan  maka  penegakannya yang diskriminatif. Oleh  karena  itu,  reformasi  hukum  dalam  konteks  ini  menjadi  sebuah keniscayaan.  Reformasi  hukum  merupakan  jawaban  terhadap  bagaimana hukum  di  Indonesia  diselenggarakan  dalam  kerangka  pembentukan  negara hukum  yang  dicita-citakan.  

Hukum  mengemban  fungsi  ekspresif   yaitu mengungkapkan  pandangan  hidup,  nilai-nilai  budaya  dan  nilai  keadilan. Selain   itu   hukum   mengemban   fungsi   instrumental   yaitu   sarana   untuk menciptakan   dan   memelihara   ketertiban,   stabilitas   dan   prediktabilitas, sarana  untuk  melestarikan  nilai-nilai  budaya  dan  mewujudkan  keadilan, sarana  pendidikan  serta  pengadaban  masyarakat  dan  sarana  pembaharuan masyarakat   (mendorong,   mengkanalisasi   dan   mengesahkan   perubahan masyarakat).

Di Indonesia, tujuan    hukum    adalah    untuk    membentuk suatu pembentukan  negara  Indonesia  yang  melindungi  segenap  bangsa  Indonesia dan  seluruh  tumpah  darah  Indonesia  dan  untuk  memajukan  kesejahteraan umum,  mencerdaskan  kehidupan  bangsa  serta  ikut  melaksanaan  ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jika   hukum   tidak   lagi   dapat   bekerja   sesuai   tujuan   dan   sebagaimana fungsinya   maka   itu   menandakan   upaya-upaya   reformasi   hukum   sudah waktunya  dilakukan. Roscoe  Pound  misalnya,  telah  mengatakan  bahwa hukum berfungsi sebagai alat rekayasa pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering), tetapi apabila dalam kenyataannya di Indonesia ini telah bergeser   menjadi   alat   rekayasa   pembenaran   korupsi   (law   as   tool   of corruption   engineering) maka   jelas   diperlukan   reformasi   terhadapnya. Reformasi hukum bukan saja diartikan sebagai penggantian atau pembaruan perundang-undangan,  akan  tetapi  juga  perubahan  asumsi  dasar  dari  sebuah tata  hukum  yang  berlandaskan  ide-ide  diskriminatif  dan  kesenjangan  sosial menjadi ide-ide persamaan di depan hukum dan keadilan sosial.

Misi yang diemban dalam rangka reformasi hukum adalah terciptanya hukum   yang   tertib   dan   berkeadilan   namun   tetap   senantiasa   mampu mendorong   pembangunan   bagi   peningkatan   kesejahteraan   masyarakat. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam kerangka reformasi hukum adalah tegaknya  supremasi  hukum  yang  berkeadilan  dalam  masyarakat.  

Namun demikian, realita dalam praktek penegakan hukum senantiasa menunjukkan hukum yang meninggalkan rasa keadilan. Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum  (disrespecting  the  law),  ketidakpercayaan  pada  hukum  (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law).

Dapat dilihat bahwa catatan kritis tentang sistem hukum dan penegakannya belum menciptakan apa yang dicita-citakan, melihat sistem peradilan yang tidak independen dan imparsial, inkonsistensi dalam penegakan hukum, intervensi, lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat, kontrol terhadap penegakan hukum yang lemah dan proses pembentukan hukum  yang lebih merupakan power  games  yang mengacu pada kepentingan the powerfull daripada the needy.

Catatan-catatan kritis tersebut menjadi gambaran agar setidaknya  secara  konsep    perlu di wujudkan  dalam  reformasi  hukum  dalam  rangka  mencapai  supremasi hukum yang berkeadilan, Pada  dasarnya  reformasi  hukum  harus menyentuh struktur Hukum, substansi  Hukum dan budaya  Hukum sebagaimana yang di jelaskan  Lawrence Friedman.

Dari  segi  materi/substansi  hukumnya  pembenahan  perlu  dilakukan tidak  hanya  mencakup  kemungkinan  mengadopsi  pranata-pranata  hukum baru   yang   muncul   dalam   kerangka   globalisasi   ekonomi   yang   dapat memunculkan  kecenderungan  terjadinya  globalisasi  hukum,  namun  juga adaptasi  terhadap  paradigma  baru  dalam  sistem  pemerintahan  khususnya berkaitan   dengan   otonomi   daerah,   misalnya   kemungkinan   berlakunya ketentuan-ketentuan hukum adat setempat bagi hubungan-hubungan hukum atau   peristiwa-peristiwa   hukum   tertentu.

Perjalanan reformasi hukum dikatakan belum berhasil optimal melihat realitas  penegakan  hukum  yang  terjadi  sampai  hari  ini. Kepastian  hukum masih  ditegakkan  melalui  pendekatan  peraturan  atau  undang-undang  atau pendekatan  legislatif,  belum  melalui  penegakan  hukum  oleh  pengadilan sebagai  benteng  terakhir  masyarakat  pencari  keadilan  atau  pendekatan law enforcement  dan an  independent  judiciary.  Meskipun  supremasi  hukum diteriakkan  keras-keras,  tetapi  sejalan  dengan  itu  penghormatan  terhadap hukum hanya sebatas formalistik dan prosedural.

Ketidakhormatan  terhadap  hukum  semakin  menjadi-jadi  manakala hukum  hanya  dipandang  secara  tekstual  dan  sangat  positifistik  menafikkan aspek  keadilan  yang  menjadi  ruhnya.  Institusi  dan  aparatur  hukum  hanya mengedepankan formal  justice semata  tanpa  memperdulikan substansial justice sehingga segala sesuatu dilihat secara hitam-putih. Hingga  masa  pemerintahan yang berganti, reformasi  hukum  belum dilaksanakan   dengan   sungguh-sungguh.   Terbukti,   masih   dilakukannya kebiasaan-kebiasaan   lama   melalui   praktik judicial corruption,   tidak tuntasnya  masalah  penegakan  hukum  terhadap  pelanggaran  HAM,  dan korupsi.

Soal penting bagi kepemimpinan hari ini adalah mampu menjawab dan menciptakan reformasi hukum yang berkeadilan, reformasi hukum sebagai bentuk penerimaan bangsa Indonesia terhadap perkembangan zaman, bahwa hukum tidak pasif tapi dinamis, harus berkembang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

 

 

 

 

 

Lp. Arukhun/Jakarta

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama